BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rongga
hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa hidung (mukosa
olfaktori).Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar pada rongga hidung
dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified
columnar ephitelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel
goblet.Alergi hidung adalah keadaan atopi yang aling sering dijumpai, menyerang
20% dari populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat.
Di tempat lain, alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatannya lebih
rendah, terutama pada negara-negara yang kurang berkembang. Penderita Rhinitis
alergika akan mengalami hidung tersumbat berat, sekresi hidung yang berlebihan
atau rhinore, dan bersin yang terjadi berulang cepat.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
keperawatan medikal bedah
2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui tentang penyakit rhinitis
alergi
2) Mengetahui etiologi rhinitis alergi
3) Mengetahui patofisiologi rhinitis
alergi
4) Mengetahui komplikasi rhinitis
alergi
5) Mengetahui asuhan keperawatan
penyakit rhinitis alergi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala
bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh Ig
E.
Rinitis
alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan
laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung
yang disebabkan oleh alergi terhadap partikel, seperti: debu, asap,
serbuk/tepung sari yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang
mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena karena
dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari
yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan
semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi
kronis.( www. Google.com )
Rhinitis
alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi
alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman. (Dorland,2002
)
Rhinitis adalah
suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 )
B. Etiologi
Rhinitis alergi adalah
penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang diikuti oleh
reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
Immediate Phase Allergic Reaction
Berlangsung
sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya
Late Phase Allergic Reaction
Reaksi
yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah
pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
Alergen
Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik atau perhiasan.
Berdasarkan cara masuknya allergen
dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
C. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu
penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan
reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya.
Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan
gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau
bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti
histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam
setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan
infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 +
sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan
sekret kental.
Patogenesis Rinitis
Alergi
Patofisiologi rinitis alergi dapat
dibedakan ka dalam fase sensitisasi dan elisitasi. Fase elisitasi dibedakan
atas tahap aktivasi dan tahap efektor.
Fase sensitisasi diawali dengan paparan alergen yang menempel dimukosa hidung bersama udara pernapasan. Alergen tersebut ditangkap kemudian dipecah oleh sel penyaji antigen (APC) seperti sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag menjadi peptida rantai pendek. Hasil pemecahan alergen ini akan dipresentasikan di permukaan APC melalui molekul kompleks histokompatibilitas mayor kelas II (MHC kelas II). Ikatan antara sel penyaji antigen dan sel Th 0 (sel T helper) melalui MHC-II dan reseptornya (TcR-CD4) memicu deferensiasi Sel Th0 menjadi sel Th2. Beberapa sitokin yaitu IL3, IL4, IL5, IL9,IL10, IL13 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GMCSF) akan dilepaskan.
IL-4 dan IL-13 selanjutnya berikatan dengan reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE) yang akan dilepaskan di sirkulasi darah dan jaringan sekitarnya. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan berikatan dengan reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator membentuk ikatan IgE-sel mast. Individu yang mengandung komplek tersebut disebut individu yang sudah tersensitisasi, yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Fase aktivasi bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan menyebabkan terjadinya degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1
pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan
bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya
dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk
mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal,
serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi
terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari :
1. Respon primer
Terjadi proses
eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi
bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler
atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada
tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang
terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau
menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.Gell dan Coombs
mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3
atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai
di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008).
D. Manifestasi Klinis
1. Bersin
berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya bersin
lebih dari 6 kali).
2. Hidung tersumbat.
3. Hidung meler. Cairan yang
keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya bening dan encer,
tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika
berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4. Hidung
gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
5.
Badan menjadi lemah dan tak
bersemangat.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Alergi
Tes ini dilakukan untuk menegakkan
bukti secara objektif akan adanya penyakit atopi. Ia juga dapat menentukan agen
penyebab reaksi alergitersebut, yang akan dapat membantu dalam penanganan
secara spesifik.Terdapat dua tipe pemeriksaan yang sering digunakan bagi
menilai secarakausatif maupun kuantitatif sensitifitas suatu alergen: tes kulit
dan esai serumin vitro (in vitro serum assay).
a. Tes Kulit
dapat dilakukan secara epikutan,
intradermal atau kombinasi keduanya.
a). Tes cukit kulit merupakan tes
kulit secara epikutan yang palingsering digunakan. Secara umumnya tes ini
tergolong cepat,spesifik, aman dan ekonomis.Dengan adanya sistem tesmultipel
yang tersedia, tes ini mudah dilaksanakan danprosedurnya selalu tidak pernah
berubah.Namun bila hasil tesini diragukan, selanjutnya dilakukan tes secara
intradermal.
b). Tes cukit kulit secara
intradermal menggunakan pengenceranberseri yang kuantitatif 1:5 merupakan tes
pilihan bagikebanyakan ahli spesialis THT setelah dilakukan tes cukit
kulitsecara epikutan. Tipe tes yang dikenal sebagai intradermaldilutional
testing (IDT), dulunya dikenal sebagai serialendpoint titration (SET) ini
sangat berguna dalam menentukantahap sensitifitas alergen, dan dalam rangka
itu, amatbermanfaat dalam penentuan terapi imunal yang tepat danaman bagi
penderita rhinitis alergi.
2. Tes in vitro:
Tes ini melibatkan IgE serum yang
spesifik dengan alergen danmerupakan teknik yang mudah dikerjakan serta akurat
dalam mendeteksiadanya pengaruh atopi pada pasien dengan rhinitis alergi.
Teknologi in vitrojuga sudah sangat dikembangkan sedemikian rupa sehingga
efektifitasnyasudah kurang lebih sama dengan tes cukit kulit. Tes ini aman,
murah dancukup spesifik sehingga penderita tidak perlu bebas dari
pengaruhantihistamin atau obat-obat lain pada saat pada saat pemeriksaan
dijalankan,yang kalau pada tes cukit kulit, dapat mengganggu penilaian.Tes ini
juga sangat mudah dan cepat dikerjakan sehingga menjadi pilihan dalammenangani
pasien anak-anak maupun dewasa yang disertai gangguananxietas. Walaupun tes in
vitro yang pertama yaitu radioallergosorbent test(RAST) sudah tidak
dikerjakan lagi, terminologi RAST ini masih digunakansecara umum dalam
menjelaskan pemeriksaan IgE spesifik darah. Saat ini,sudah banyak tipe esai in
vitro yang ditinggalkan, karena peralihan ke tipebaru yang lebih cepat, dapat
diandalkan dan lebih efisien contohnyaImmunoCap.Dengan tidak menggunakan
tes yang dapat diandalkan, dapatberakibat buruk kepada diagnosis atopi yang
seterusnya membawa kepadapenanganan yang tidak adekuat. Dibawah merupakan bagan
pelaksanaan tesin vitro:
F. Pengobatan
1. Terapi yang paling ideal adalah
dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab.
2. Pengobatan, penggunaan obat
antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan oral. Obat
Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase
lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain
3. Tindakan Operasi (konkotomi)
dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas
4. Penggunaan Imunoterapi.
G. Penatalaksanaan
1. Instruksikan pasien yang allergik
untuk menghindari allergen atau iritan spt (debu, asap tembakau, asap, bau,
tepung, sprei)
2. Sejukkan membran mukosa dengan
menggunakan sprey nasal salin.
3. Melunakkan sekresi yang mengering
dan menghiangkan iritan.
4. Ajarkan tekhnik penggunaan
obat-obatan spt sprei dan serosol.
5. Anjurkan menghembuskan hidung
sebelum pemberian obat apapun thd hidung
H. Komplikasi
1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat
menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media. Rinitis alergi dapat
menyebabkan otitis media yang sering residif dan terutama kita temukan pada
pasien anak-anak.
3. Sinusitis kronik
4. Otitis media dan sinusitis kronik
bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi melainkan adanya sumbatan pada
hidung sehingga menghambat drainase
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
A. Identitas
1. Nama
2. jenis kelamin
3. umur
4. bangsa
B. Keluhan utama
Bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan hidung gatal
Bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan hidung gatal
C. Riwayat peyakit dahulu
Pernahkan pasien menderita penyakit THT sebelumnya.
Pernahkan pasien menderita penyakit THT sebelumnya.
D. Riwayat keluarga
Apakah keluarga adanya yang menderita penyakit yang di alami pasien
Apakah keluarga adanya yang menderita penyakit yang di alami pasien
E. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi : permukaan hidung terdapat
sekret mukoid
2. Palpasi : nyeri, karena adanya
inflamasi.
F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan nasoendoskopi
2. Pemeriksaan sitologi hidung
3. Hitung eosinofil pada darah tepi
4. Uji kulit allergen penyebab
2. Diagnosa
1. Cemas
berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan tentang penyakit dan prosedur tindakan
medis
2. Ketidakefektifan
jalan nafas berhubungan dengan obstruksi /adanya secret yang mengental
3. Gangguan pola
istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung
4. Gangguan konsep
diri berhubungan dengan rhinore
3. Intervensi
1. Cemas berhubungan dengan Kurangnya
Pengetahuan tentang penyakit dan prosedur tindakan medis
Tujuan : Cemas
klien berkurang/hilang
Kriteria :
a. Klien akan
menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya
b. Klien
mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji tingkat kecemasan klien
2. Berikan kenyamanan dan ketentaman
pada klien :
- Temani klien
- Perlihatkan rasa empati( datang
dengan menyentuh klien )
3. Berikan penjelasan pada klien tentang
penyakit yang dideritanya perlahan, tenang seta gunakan kalimat yang jelas, singkat
mudah dimengerti
4. Singkirkan stimulasi yang berlebihan
misalnya :
- Tempatkan klien diruangan yang lebih
tenang
- Batasi kontak
dengan orang lain /klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan
5. Observasi tanda-tanda vital.
6. Bila perlu , kolaborasi dengan tim
medis
|
1. Menentukan tindakan selanjutnya
2. Memudahkan penerimaan klien terhadap
informasi yang diberikan
3. Meningkatkan pemahaman klien tentang
penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif
4. Dengan menghilangkan stimulus yang
mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.
5. Mengetahui perkembangan klien secara
dini.
6. Obat dapat menurunkan tingkat
kecemasan klien
|
2. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan
dengan obstruksi /adnya secret yang mengental.
Tujuan : Jalan
nafas efektif setelah secret dikeluarkan
Kriteria :
a. Klien tidak
bernafas lagi melalui mulut
b. Jalan
nafas kembali normal terutama hidung
Intervensi
|
Rasional
|
a. Kaji penumpukan secret yang ada
b. Observasi tanda-tanda vital.
c. Kolaborasi dengan team medis
|
a. Mengetahui tingkat keparahan dan
tindakan selanjutnya
b. Mengetahui perkembangan klien sebelum
dilakukan operasi
c. Kerjasama untuk menghilangkan obat
yang dikonsumsi
|
3. Gangguan pola istirahat berhubungan
dengan penyumbatan pada hidung
Tujuan : klien
dapat istirahat dan tidur dengan nyaman
Kriteria :
- Klien
tidur 6-8 jam sehari
Intervensi
|
Rasional
|
a. Kaji kebutuhan tidur klien.
b. ciptakan suasana yang nyaman.
c. Anjurkan klien bernafas lewat mulut
d. Kolaborasi dengan tim medis pemberian
obat
|
a. Mengetahui permasalahan klien dalam
pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
b. Agar klien dapat tidur dengan tenang
c. P ernafasan tidak terganggu.
d. Pernafasan dapat efektif kembali
lewat hidung
|
4. Gangguan konsep diri berhubungan dengan
rhinore
Intervensi
|
Rasional
|
a. Dorong
individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan
prognosis kesehatan
b. ajarkan
individu menegenai sumber komunitas yang tersedia, jika dibutuhkan (misalnya
: pusat kesehatan mental)
c. dorong
individu untuk mengekspresikan perasaannya, khususnya bagaimana individu
merasakan, memikirkan, atau memandang dirinya
|
a. memberikan
minat dan perhatian, memberikan kesempatan untuk memperbaiakikesalahan konsep
b. pendekatan
secara komperhensif dapat membantu memenuhi kebutuhan pasienuntuk memelihara
tingkah laku koping
c. dapat
membantu meningkatkan tingkat kepercayaan diri, memperbaiki harga diri,
mrnurunkan pikiran terus menerus terhadap perubahan dan meningkatkan perasaan
terhadap pengendalian diri
|
4. Implementasi
1. Mendorong individu untuk bertanya
mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan prognosis kesehatan
2. Mengatur kelembapan ruangan untuk
mencegah pertumbuhan jamur
3. Menjauhkan hewan berbulu dari pasien
alergi, namun hal ini sering tidak dipatuhi terutama oleh pecinta binatang
4. Membersihkan kasur secara rutin
5. Lapisi bantal, kasur, dan tempat
tidur springbed dengan plastik atau vinil.
6. Ganti kasur atau bantal kapuk atau
kulit dengan kasur atau bantal busa.
7. Bersihkan tempat tidur secara
teratur. Cuci sarung bantal, sprei, dan selimut dengan air hangat.
8. Bersihkan karpet dengan vacuum
cleaner dan pel lantai secara teratur. Jika perlu, jangan gunakan karpet di
dalam kamar tidur.
9. Minimalkan atau bersihkan
benda-benda yang bisa menjadi tempat berkumpulnya debu di rumah.
5. Evaluasi
1. Mengetahui tentang penyakitnya
2. Sudah bisa bernafas melalui hidung
dengan normal
3. Bisa tidur dengan nyenyak
4. Mengutarakan penyakitnya tentang
perubahan penampilan
5. Bisa melakukan aktivitas seperti
biasa
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Rhinitis
alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi
alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman. (Dorland,2002
)
Rhinitis adalah
suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 )
Dengan masuknya allergen ke
dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap besar :
Respon Primer,Respon
Sekunder,Respon Tersier
B. Saran
penyusun sangat
membutuhkan saran, demi meningkatkan kwalitas dan mutu makalah yang kami buat
dilain waktu. Sehingga penyusun dapat memberikan informasi yang lebih berguna
untuk penyusun khususnya dan pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Price, silvya
A. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
4. Jakarta : EGC
meltzer,
suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
universitas indonesia
Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan
Aplikasi Pada Praktik Klinis Edisi 9. Jakarta : EGC
Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan,
Jakarta : EGC
Price,
Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta
: EGC
sangat membantu :)
BalasHapus