ketika itu senja sedang mengetuk jendela
kaulah bayangan buram di sudut meja
dan aku lilin yang kau bakar tubuhnya
tak apa, meski leleh
untuk menerangi sepimu aku tak akan lelah
tak peduli lagi aku dengan waktu
bukan karena tak mampu terhitung, melainkan tak mau
biar beberapa nyata pengorbanan hadir tanpa nama
meski memang tak akan pernah kautanya tentang siapa
sebab, akulah suara dalam kepala
yang hanya kaudengar
tanpa terkata
sama seperti di matamu, di luar sudah tak ada cahaya
gelap dan dingin menyerbu kita
tanpa tahu mana kaki mana kepala
duh, Tuan, aku ini panas membara
hanya ingin menghangatkanmu, tapi
tak bisa
bahkan, pada detik aku pernah berharap untuk menjadi sebuah jawab
namun sepasang mata ini tak pernah sekali pun kautatap
Tuan, bila pernah kau bertanya pada hujan tentang sebuah perasaaan yang terpendam
barangkali jawabannya adalah aku
dengan pengorbanan
yang diam-diam
kau mengetuk-ngetukkan ujung jemarimu di atas meja
bosan—menunggu waktu menelan umurku
di kedua pundakmu, ego besar sedang ramai-ramainya bicara
perihal hubungan kita—peranmu yang selalu berkuasa, dan perasaanku
yang tak ada artinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar