♥ welcome to my blog ♥

Jumat, 23 Mei 2014

RHINITIS ALERGI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa hidung (mukosa olfaktori).Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar pada rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar ephitelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.Alergi hidung adalah keadaan atopi yang aling sering dijumpai, menyerang 20% dari populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain, alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatannya lebih rendah, terutama pada negara-negara yang kurang berkembang. Penderita Rhinitis alergika akan mengalami hidung tersumbat berat, sekresi hidung yang berlebihan atau rhinore, dan bersin yang terjadi berulang cepat.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan medikal bedah
2. Tujuan Khusus
1)      Mengetahui tentang penyakit rhinitis alergi
2)      Mengetahui etiologi rhinitis alergi
3)      Mengetahui patofisiologi rhinitis alergi
4)      Mengetahui komplikasi rhinitis alergi
5)      Mengetahui asuhan keperawatan penyakit rhinitis alergi


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh Ig E.
Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung yang disebabkan oleh alergi terhadap partikel, seperti: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis.( www. Google.com )
Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman. (Dorland,2002 )
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 )

            B. Etiologi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
  Immediate Phase Allergic Reaction
Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya
  Late Phase Allergic Reaction
Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
  Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
  Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1.   Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2.
  Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3.
    Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
4.
 Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
     
      C. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :

1.    Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.
2.     Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.

Patogenesis Rinitis Alergi      




Patofisiologi rinitis alergi dapat dibedakan ka dalam fase sensitisasi dan elisitasi. Fase elisitasi dibedakan atas tahap aktivasi dan tahap efektor.


Fase sensitisasi diawali dengan paparan alergen yang menempel dimukosa hidung bersama udara pernapasan. Alergen tersebut ditangkap kemudian dipecah oleh sel penyaji antigen (APC) seperti sel Langerhans, sel dendritik dan makrofag menjadi peptida rantai pendek. Hasil pemecahan alergen ini akan dipresentasikan di permukaan APC melalui molekul kompleks histokompatibilitas mayor kelas II (MHC kelas II). Ikatan antara sel penyaji antigen dan sel Th 0 (sel T helper) melalui MHC-II  dan reseptornya  (TcR-CD4)  memicu deferensiasi  Sel  Th0 menjadi  sel Th2.  Beberapa  sitokin  yaitu IL3,  IL4,  IL5,  IL9,IL10,  IL13 dan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GMCSF) akan dilepaskan.

IL-4 dan IL-13 selanjutnya berikatan dengan reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE) yang akan dilepaskan di sirkulasi darah dan jaringan sekitarnya. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan berikatan dengan reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator membentuk ikatan IgE-sel mast. Individu yang  mengandung  komplek tersebut  disebut  individu yang  sudah tersensitisasi, yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.

Fase aktivasi bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan menyebabkan terjadinya degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).


Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari :
1. Respon primer
   Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
    Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.


3. Respon tersier
  Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

D. Manifestasi Klinis
1.      Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2.      Hidung tersumbat.
3.      Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4.      Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
5.      Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
E.  Pemeriksaan Penunjang
1.   Tes Alergi
Tes ini dilakukan untuk menegakkan bukti secara objektif akan adanya penyakit atopi. Ia juga dapat menentukan agen penyebab reaksi alergitersebut, yang akan dapat membantu dalam penanganan secara spesifik.Terdapat dua tipe pemeriksaan yang sering digunakan bagi menilai secarakausatif maupun kuantitatif sensitifitas suatu alergen: tes kulit dan esai serumin vitro (in vitro serum assay).
a.   Tes Kulit
dapat dilakukan secara epikutan, intradermal atau kombinasi keduanya.
a). Tes cukit kulit merupakan tes kulit secara epikutan yang palingsering digunakan. Secara umumnya tes ini tergolong cepat,spesifik, aman dan ekonomis.Dengan adanya sistem tesmultipel yang tersedia, tes ini mudah dilaksanakan danprosedurnya selalu tidak pernah berubah.Namun bila hasil tesini diragukan, selanjutnya dilakukan tes secara intradermal.
b). Tes cukit kulit secara intradermal menggunakan pengenceranberseri yang kuantitatif 1:5 merupakan tes pilihan bagikebanyakan ahli spesialis THT setelah dilakukan tes cukit kulitsecara epikutan. Tipe tes yang dikenal sebagai intradermaldilutional testing (IDT), dulunya dikenal sebagai serialendpoint titration (SET) ini sangat berguna dalam menentukantahap sensitifitas alergen, dan dalam rangka itu, amatbermanfaat dalam penentuan terapi imunal yang tepat danaman bagi penderita rhinitis alergi.

2.   Tes in vitro:
Tes ini melibatkan IgE serum yang spesifik dengan alergen danmerupakan teknik yang mudah dikerjakan serta akurat dalam mendeteksiadanya pengaruh atopi pada pasien dengan rhinitis alergi. Teknologi in vitrojuga sudah sangat dikembangkan sedemikian rupa sehingga efektifitasnyasudah kurang lebih sama dengan tes cukit kulit. Tes ini aman, murah dancukup spesifik sehingga penderita tidak perlu bebas dari pengaruhantihistamin atau obat-obat lain pada saat pada saat pemeriksaan dijalankan,yang kalau pada tes cukit kulit, dapat mengganggu penilaian.Tes ini juga sangat mudah dan cepat dikerjakan sehingga menjadi pilihan dalammenangani pasien anak-anak maupun dewasa yang disertai gangguananxietas. Walaupun tes in vitro yang pertama yaitu radioallergosorbent test(RAST) sudah tidak dikerjakan lagi, terminologi RAST ini masih digunakansecara umum dalam menjelaskan pemeriksaan IgE spesifik darah. Saat ini,sudah banyak tipe esai in vitro yang ditinggalkan, karena peralihan ke tipebaru yang lebih cepat, dapat diandalkan dan lebih efisien contohnyaImmunoCap.Dengan tidak menggunakan tes yang dapat diandalkan, dapatberakibat buruk kepada diagnosis atopi yang seterusnya membawa kepadapenanganan yang tidak adekuat. Dibawah merupakan bagan pelaksanaan tesin vitro:

F. Pengobatan
1.      Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab.
2.      Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain
3.      Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas
4.      Penggunaan Imunoterapi.


G. Penatalaksanaan
1.      Instruksikan pasien yang allergik untuk menghindari allergen atau iritan spt (debu, asap tembakau, asap, bau, tepung, sprei)
2.      Sejukkan membran mukosa dengan menggunakan sprey nasal salin.
3.      Melunakkan sekresi yang mengering dan menghiangkan iritan.
4.      Ajarkan tekhnik penggunaan obat-obatan spt sprei dan serosol.
5.      Anjurkan menghembuskan hidung sebelum pemberian obat apapun thd hidung

H. Komplikasi
1.      Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung.
2.      Otitis media. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media yang sering residif dan terutama kita temukan pada pasien anak-anak.
3.      Sinusitis kronik
4.      Otitis media dan sinusitis kronik bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi melainkan adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
A.    Identitas
1.      Nama
2.      jenis kelamin
3.      umur
4.     bangsa
B.     Keluhan utama
Bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan hidung gatal
C.     Riwayat peyakit dahulu
Pernahkan pasien menderita penyakit THT sebelumnya.
D.    Riwayat keluarga
Apakah keluarga adanya yang menderita penyakit yang di alami pasien
E.     Pemeriksaan fisik
1.      Inspeksi : permukaan hidung terdapat sekret mukoid
2.      Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi.
F.      Pemeriksaan penunjang
1.      Pemeriksaan nasoendoskopi
2.      Pemeriksaan sitologi hidung
3.      Hitung eosinofil pada darah tepi
4.      Uji kulit allergen penyebab

2. Diagnosa
1. Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan tentang penyakit dan prosedur tindakan medis
2. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi /adanya secret yang mengental
3. Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung
4. Gangguan konsep diri berhubungan dengan rhinore


3. Intervensi
1. Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan tentang penyakit dan prosedur tindakan medis
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria :
a. Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya
b. Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.

Intervensi
Rasional
1.      Kaji tingkat kecemasan klien
2.      Berikan kenyamanan dan ketentaman pada klien :
-      Temani klien
-      Perlihatkan rasa empati( datang dengan menyentuh klien )
3.    Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang seta gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti
4.      Singkirkan stimulasi yang berlebihan misalnya :
-       Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang
- Batasi kontak dengan orang lain /klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan
5.      Observasi tanda-tanda vital.
6.    Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis
1.    Menentukan tindakan selanjutnya
2.      Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan
3.      Meningkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif
4.      Dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.
5.      Mengetahui perkembangan klien secara dini.
6.    Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien


2. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi /adnya secret yang mengental.
Tujuan : Jalan nafas efektif setelah secret dikeluarkan
Kriteria :
a. Klien tidak bernafas lagi melalui mulut
b. Jalan nafas kembali normal terutama hidung
Intervensi
Rasional
a.      Kaji penumpukan secret yang ada
b.    Observasi tanda-tanda vital.
c.      Kolaborasi dengan team medis
a.    Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya
b.    Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi
c.      Kerjasama untuk menghilangkan obat yang dikonsumsi

3. Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung
Tujuan : klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman
Kriteria :
- Klien tidur 6-8 jam sehari
Intervensi
Rasional
a.    Kaji kebutuhan tidur klien.
b.     ciptakan suasana yang nyaman.
c.      Anjurkan klien bernafas lewat mulut
d.     Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat
a.      Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
b.     Agar klien dapat tidur dengan tenang
c. P ernafasan tidak terganggu.
d.     Pernafasan dapat efektif kembali lewat hidung



4. Gangguan konsep diri berhubungan dengan rhinore
Intervensi
Rasional
a. Dorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan prognosis kesehatan
b. ajarkan individu menegenai sumber komunitas yang tersedia, jika dibutuhkan (misalnya : pusat kesehatan mental)
c. dorong individu untuk mengekspresikan perasaannya, khususnya bagaimana individu merasakan, memikirkan, atau memandang dirinya
a. memberikan minat dan perhatian, memberikan kesempatan untuk memperbaiakikesalahan konsep
b. pendekatan secara komperhensif dapat membantu memenuhi kebutuhan pasienuntuk memelihara tingkah laku koping
c. dapat membantu meningkatkan tingkat kepercayaan diri, memperbaiki harga diri, mrnurunkan pikiran terus menerus terhadap perubahan dan meningkatkan perasaan terhadap pengendalian diri

4.  Implementasi
1.      Mendorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan prognosis kesehatan
2.      Mengatur kelembapan ruangan untuk mencegah pertumbuhan jamur
3.      Menjauhkan hewan berbulu dari pasien alergi, namun hal ini sering tidak dipatuhi terutama oleh pecinta binatang
4.      Membersihkan kasur secara rutin
5.      Lapisi bantal, kasur, dan tempat tidur springbed dengan plastik atau vinil.
6.      Ganti kasur atau bantal kapuk atau kulit dengan kasur atau bantal busa.
7.      Bersihkan tempat tidur secara teratur. Cuci sarung bantal, sprei, dan selimut dengan air hangat.
8.      Bersihkan karpet dengan vacuum cleaner dan pel lantai secara teratur. Jika perlu, jangan gunakan karpet di dalam kamar tidur.
9.      Minimalkan atau bersihkan benda-benda yang bisa menjadi tempat berkumpulnya debu di rumah.

5. Evaluasi
1.      Mengetahui tentang penyakitnya
2.      Sudah bisa bernafas melalui hidung dengan normal
3.      Bisa tidur dengan nyenyak
4.      Mengutarakan penyakitnya tentang perubahan penampilan
5.      Bisa melakukan aktivitas seperti biasa



BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman. (Dorland,2002 )
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 )
Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap besar :
Respon Primer,Respon Sekunder,Respon Tersier

B.      Saran
penyusun sangat membutuhkan saran, demi meningkatkan kwalitas dan mutu makalah yang kami buat dilain waktu. Sehingga penyusun dapat memberikan informasi yang lebih berguna untuk penyusun khususnya dan pembaca umumnya.


DAFTAR PUSTAKA
Price, silvya A. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4. Jakarta : EGC
meltzer, suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
universitas indonesia
         Carpenito, Lynda Juall.2009. Diagnosis Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinis Edisi 9. Jakarta : EGC
         Doengoes, Mariliynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC
         Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC

1 komentar: